Kerja di Malam Hari

Gara-gara dapet tugs presentasi tentang manajemen waktu, jadi mikir-mikir, ini dia masalah gw akhir-akhir ini. Entah kenapa progress riset merasa berjalan lamban. Sebenarnya bukan lamban atau tidaknya sih tetapi merasa tidak pernah bekerja penuh fokus dengan waktu yang lama layaknya ketika mengambil S2 dulu.

Nah, usut punya usut, ternyata setiap manusia punya jam produktif masing-masing. Dan saya percaya ini dibangun dari kebiasaan. Jaman dahulu kala, saya sering mengerjakan sesuatu dimulai dengan setelah maghrib. Jadi setelah maghrib itu rasanya sangat fokus, tenang dan siap bekerja keras. Waktu terasa lebih panjang. Alhasil, saya biasa bekerja sampai jam 3 pagi. Kemudian tidur. Shubuh. Tidur lagi. This is the problem.

Sekarang, demi menjadi teladan yang baik bagi anak dan keluarga. Maka saya biasakan tidur cepat dan bangun awal. Tapi rupanya, hari-hari sering berlalu tanpa effort yang besar karena sulit untuk fokus. Tidak ada lagi masa-masa do till the limit di malam hari seperti dahulu kala. Karena nanti Khaleed jadi ikutan begadang ataupun kalau gak, saya gak fresh di saat jam Khaleed fresh. It is not good. Yes I know.

Now? Nah, konon juga, lakukan rutinitas berturut-turut selama 4 minggu dapat merubah kebiasaan. Intinya, sekarang saatnya merenung, mengumpulkan tekad, membuat rencana untuk merubah kebiasaan produktif di malam hari menjadi siang hari. Di awal harus dipaksa fokus. Mungkin setelahnya bisa menjadi kebiasaan baru.

Yuk, mari bekerja di siang hari! Beristirahat di malam hari!

Advertisement

Malas Memasak

Sekarang sedang masuk pada fase malas memasak. Entah kenapa rasanya gak pernah puas dengan hasil karya sendiri. Waktunya lama. Rasanya tidak enak. Ribet pulak. Padahal ada masa-masanya merasa senang masak.

Sepertinya effort memasak untuk sendiri dan memasak dua masakan untuk saya dan Khaleed emang terlalu besar dan time consuming. Pilihannya, stay hemat atau boros. Kalau hemat ya berarti gak usah masak dua kali. Tapi makan aja masakan Khaleed, gak usah ngikutin selera sendiri. Atau jadi boros, dengan cara beli makan di luar aja trus. πŸ˜€

Ada solusi lain yang lebih bijak kah?

Bukan “Heueuh” Bunda, “Iya”

Sekarang kayaknya setiap alasan atau penjelasan yang saya ungkapkan untuk menyikapi satu masalahΒ dengan Khaleed akan menjadi rekaman di otaknya dan dia langsung dapat mengeluarkan ingatannya itu kapan saja. Seringkali penjelasan yang saya ungkapkan dia asosiasikan di kasus lainnya yang memang mirip. Ya, sepertinya perkembangan kognisi Khaleed sedang sangat berkembang.

Salah satu yang membuat saya tertawa setiap harinya adalah masalah penggunaan kata “Heueuh” untuk mengiyakan pertanyaan yang diajukan lawan bicara. Jadi penggunaan “Heueuh” dijelaskan oleh Eninnya bahwa itu tidak sopan. Yang sopan adalah dengan menjawab, “Iya.”

“Bunda, Khaleed minum Yakult ya?”

“Heueuh.”

“Bukan ‘heueuh’ Bunda, ‘iya’….”

“Oia, ‘iya’…”

“Bunda, Bunda nanya dong ke Khaleed.”

“Nanya apa?”

“Nanya ke Khaleed Bunda.”

“Hmmm…. Mas Khaleed baik sikapnya hari ini?”

“‘heueuh’… eh… ‘iya’…”

Dilanjut dengan ketawa cekikikan. Dan sekarang lagi hobi banget disalah-salahin dalam mengiyakan sesuatu dengan bilang ‘heueuh’ terus gak berapa lama diralat jadi ‘iya’. Kolkol…. You’re my sunshine…. :*

Rekor: Setahun Gak Mudik

Huaaa. Bener-bener nih sekarang mah judulnya merantau. πŸ˜€ Pas tanggal 15 Juli 2012 kemarin, tepat setahun meninggalkan Indonesia. Dan belum pernah balik lagi ke Indonesia. Rekor nih. Tahun kemarin setahun pulang dua kali. Ini lebih dari setahun belum pulang-pulang.

Kalau kemarin-kemarin baru 3 bulan dan 6 bulan ninggalin Indonesia dah banyak banget yang beda. Setahun pasti lebih banyak lagi. πŸ˜€ Semakin excited ngeliat apa yang bakalan beda banget yang bakal ditemuin di Indonesia nanti pas pulang.

Semoga diberikan banyak rejeki dan kesempatan untuk pulang. Tapi juga pengen bareng ayah Anas Fauzi dan Khaleed pulangnyaaaa… >_<

Khaleed Maher Fauzi

HPL anak pertama saya adalah 3 Juli 2012. Namun di pemeriksaan bulan ke delapan, dokter memprediksi kelahiran akan maju sekitar seminggu. Makanya, seminggu sebelum HPL dibuat janji ketemu lagi untuk pemeriksaan lebih akurat. Senin itu, h-7 HPL saya dan suami datang ke dokter. Tapi tidak ada kemajuan posisi bayi yang signifikan. Mules pun tidak. Agak sedikit kecewa karena waktu itu saya bener-bener dah gak sabar menanti kehadiran jagoan kami. πŸ˜€ Continue reading

Pertolongan Pertama Bagi Muslim Lapar di Korea

Ini tulisan gtau penting atau gak. Tapi saya berdoa, semoga ini penting buat temen-temen muslim yang dateng buat jalan-jalan di Korea. Asumsi saya, biasanya kalau yang dateng jalan-jalan, dan ia muslim, suka kebingungan untuk makan-makanan Korea. Gak semua makanan di Korea itu mengandung babi. Kalau bisa bertanya menggunakan bahasa lokal, mungkin mudah. Tapi kalau turis kan biasanya boro-boro yah ngomong Korea. Kalau nyanyi Korea mungkin banyak yang bisa. πŸ˜€

Dah ah, kepanjangan prolognya. Continue reading

Udahan Kah (?)

Setelah berbedrest ria dua hari ini di rumah, akhirnya seger lagi untuk balik ke lab dan beresin kerjaan yang sebenernya tinggal dikit banget. Pergilah ke kampus dengan tubuh segar. Dimulai dengan mengecek simulasi untuk mengetahui seberapa ampuh metode MPPT yang saya buat. Terus laporan ke Profesor. Terus ketemu profesor lain untuk minta feedback tentang thesis saya. Terus edit thesis. Dan??? Dan???

Dan saya berdiskusi dengan Professor. Soal metode MPPT yang dikembangkan, ke depannya mau diapain. Setelah itu, saya tanya, “Ada lagi Prof yang harus saya kerjakan?”. Dan beliau bilang apa saudara-saudara??? “Gak ada. Sebenernya deadline paper Jepang itu masih agustus, tapi karena kamu beresin kemarin-kemarin, jadi mungkin kalau perlu diskusi, saya akan hubungi kamu lagi. Have a good time for waiting baby delivery.” :O

Whatt??? Gak salah denger? Continue reading

Istilah Debat Kusir (2)

Oia, saya lupa jelasin, motivasi menulis tulisan sebelumnya dengan judul yang sama ini. Jadi, kenapa saya bisa berfikir seperti itu? Karena saya sangat menyadari bahwa manusia itu jelas berbeda. Gak usah susah-susah make sekat negara, agama, suku, golongan, perbedaan gaji, IPK, dll. Manusia yang sama-sama islam, sama-sama dari pulau jawa, sama-sama perempuan, saja bisa beda dan bisa berantem, kalau mau. Berantem disini juga gak usah jauh-jauh gontok-gontokan. Gak saling sapa, gak menyenangkan satu sama lain aja menurut saya itu udah gak enak. πŸ˜€

Jadi ceritanya begini. Continue reading

Istilah Debat Kusir

Di postingan sebelumnya, saya menyinggung soal kebutuhan manusia untuk diakui. Tapi biasanya kalau ngobrol sama suami, bahasa kami adalah manusia itu butuh di “IYA” in. Dan kadang setelah itu mau bagaimana sikap kita terhadap dia, bisa jadi lebih gak penting dibandingkan kebutuhannya untuk di “IYA” in. πŸ˜€

Kenapa saya bermuara pada kesimpulan itu? Continue reading