Catatan Mentoring: Membangun Konsep Diri Positif pada Anak

Konsep diri lagi. Ya. Lagi. Karena sebelumnya saya pernah membahas juga soal konsep diri Ibu. Kali ini giliran konsep diri anak. Kenapa bahas konsep diri itu penting? Karena konsep diri itu memang penting banget dalam hidup seseorang. Kemarin kita sudah membahas bagaimana pentingnya seorang Ibu memiliki konsep diri yang kuat, pada tulisan ini saya ganti judulnya bukan kuat, tapi positif. Nah penting gak pentingnya konsep diri ini akan terjawab dengan sendirinya melalui penjelasan berikutnya. Yuk kita simak.

Pertama, apa sih itu konsep diri? Kita ulang lagi yah. Gapapa. Biar makin nancep. Konsep diri itu adalah pandangan suatu individu terhadap dirinya sendiri. Pernah gak mikirin, gimana sih kita menilai diri kita sendiri? Pernah gak mikirin, gimana sih anak kita menilai dirinya sendiri?

Apakah kita menilai diri kita ini cantik? Baik? Pintar? Kuat? Pemberani? Senang membantu? Senang bergaul? Atau kita menilai diri kita, jelek? Jahat? Bodoh? Lemah? Penakut? Senang menarik diri? Atau seperti apa? Dan kira-kira, apa dampaknya kalau kita menilai diri kita positif atau menilai diri kita negatif dalam kehidupan kita sehari-hari? Pasti bakal beda banget kan yah perilaku orang yang memiliki konsep diri positif atau negatif?

Nah, ternyata benar. Cara kita menilai diri kita akan mempengaruhi banyak hal. Begitu juga anak kita. Bagaimana dia menilai dirinya, akan mempengaruhi banyak hal dalam hidupnya seperti cara berfikir, merasa, bertindak, bergaul dan bahkan bisa mempengaruhi fisiknya.

Anak dengan konsep diri positif, akan berfikir positif, akan merasa bahagia, akan mampu beradaptasi dengan baik, mampu bergaul dengan baik, sehat dan aktif secara fisik. Sebaliknya, anak dengan konsep diri negatif, akan memiliki cara berfikir yang negatif, selalu merasa segala sesuatu adalah ancaman, sulit beradaptasi, lebih senang mengisolasi diri dan cenderung lemah secara fisik.

Sampai sini, kayaknya kita sebagai orang tua sepakat yah, kalau kita semua ingin anak kita memiliki konsep diri yang positif? Nah, kabar baiknya, konsep diri ini bisa dibangun. Caranya?

Beri anak kesempatan untuk mencoba hal baru yang sesuai dengan kemampuan anak. Disini jadi penting bagi kita sebagai orang tua, memahami tahap perkembangan anak. Sehingga kita bisa tahu, anak usia segini, sebaiknya dikasih tugas apa yah yang kira-kira dia mampu. Kenapa tugasnya harus sesuai kemampuan? Agar anak merasakan keberhasilan. Keberhasilan itu akan memperkuat penilaian anak kepada dirinya, bahwa dirinya itu kompeten, bisa melakukannya sendiri dan ini akan membentuk konsep diri yang positif. Ketika anak berhasil, yang tidak kalah penting juga adalah berikan pengakuan yang membuat anak merasa keberhasilannya itu diterima.

Berikutnya, jadilah detektif kebaikan bagi anak. Dalam sehari, tentunya banyak perilaku yang ditunjukan oleh anak kita, baik itu perilaku negatif maupun perilaku positif. Nah, tugas kita sekarang adalah rekam hal-hal positif yang dilakukan oleh anak kita dan kita berikan penguatan atas perilaku itu. Caranya yah macem-macem yang kira-kira dapat membuat anak merasa, “Oh, Bunda senang/Bunda bangga kalau saya melakukan ini.” Contoh sederhana, “Alhamdulillah anak Bunda habis makan langsung menaruh piring ke tempat cuci piring.” Mudah yah? Murah pulak. 🙂

Untuk usia pra sekolah (di bawah 7 tahun) ini menjadi penting juga untuk menanamkan nilai-nilai ke anak-anak apa yang sebenarnya kita harapkan dari perilaku dia. Anak-anak usia ini masih butuh dibimbing tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Anak-anak akan cenderung mengulangi hal-hal yang direspon secara positif oleh lingkungannya.

Dari dua bahasan di atas, kita punya kesimpulan yah. Bahwa respon positif dari lingkungan itu sangat amat mempengaruhi konsep diri positif anak. Baik itu saat anak mengerjakan sesuatu dan berhasil atau saat anak menunjukan perilaku yang positif.

Sekarang kita bahas kasus lain, yaitu gimana kalau suatu saat, anak mengalami kegagalan? Padahal tugasnya sudah disesuaikan loh dengan umurnya. Nah, balik lagi ke bahasan sebelumnya itu, bahwa respon lingkungan, bagaimana kita memvalidasi atau memperkuat perilaku positif atau keberhasilannya, itu sangat penting. Bahkan lebih penting daripada keberhasilannya itu sendiri. Bisa loh, anak berhasil, anak berperilaku positif, tapi tanpa pengakuan (validasi), tanpa apresiasi, anak tetap menilai dirinya jadi biasa aja atau cenderung negatif. Jadi disini kita harus garis bawahi pentingnya “pengakuan”.

Hal yang sama juga soal kegagalan anak. Bagaimana orang tua merespon kegagalan anak, akan membedakan akhir penilaian yang akan diberikan anak kepada dirinya sendiri. Ketika gagal, tentunya perasaan negatif pada anak akan muncul seperti kecewa dan marah. Nah sebagai orang tua, kita harus menerima perasaannya. “Kamu sedih yah nak.” “Kamu sepertinya kecewa yah.” “Kamu marah yah”. Terima dulu. Beri label perasaannya. Ini juga sangat membantu anak agar dia tidak bingung dengan perasaannya.

Setelah anak menerima perasaannya, kita bisa membantu anak menormalisasi kegagalannya. Ada masa dimana setiap orang merasakan kegagalan. “Bunda waktu kuliah pernah loh mas, kalah futsal juga….” Ceritakan saja kegagalan yang pernah kita alami juga. Sehingga anak merasa bahwa tidak hanya dia sendiri yang pernah mengalami kegagalan.

Berikutnya, jangan lupa untuk mengizinkan anak mengekspresikan perasaannya terhadap kegagalan tersebut. Biarkan dia menangis kalau memang sedih, biarkan dia cemberut kalau memang merasa kesal, biarkan dia menarik diri dari keramaian kalau dia merasa butuh ruang untuk sendiri.

Setelah itu, perhatikan, dari ekspresi wajah, desahan nafas, ketegangan badan anak, apakah dia sudah mulai merasa lebih baik setelah mengekspresikan perasaannya tersebut. Kalau sudah lebih baik, baru nih kita bisa melakukan reframing. Memberikan sudut pandang lain dalam menghadapi kegagalan. Misalnya fokus dengan usaha yang dilakukan, “Khaleed pasti kecewa yah karena kalah futsal, tapi Bunda bangga loh karena Mas Khaleed sudah berlatih dengan baik.”

Menghargai usaha anak ini menjadi penting bagi anak untuk menyadari keterbatasan diri tanpa merasa dirinya rendah. Kenapa? Karena apapun kondisinya, seburuk apapun hasil yang dicapai, dia tetap merasa aman, diterima dan dicintai orang tuanya.

Dalam kondisi seperti ini juga, jika orang tua sering memberikan penguatan atau apresiasi pada perilaku positif atau keberhasilan anak di bidang lainnya, maka anak akan cenderung merasa tidak terlalu sakit atau pahit dalam menerima kegagalannya. Karena anak jadi tahu bahwa ada kebaikan-kebaikan atau kelebihan-kelebihannya di bidang yang lain.

Terakhir, saya ingin mengajukan pertanyaan kepada diri saya dan juga Ayah/Bunda yang membaca tulisan ini. Apakah cara kita merespon perilaku anak kita selama ini lebih banyak membangun konsep diri positif atau negatif?

Advertisement