Bismillaahirrahmaanirrahiim. Tulisan kali ini adalah awal dari tulisan saya bertema “Catatan Mentoring” yang benar-benar merupakan catatan selama saya ikut mentoring bersama bu Yeti Widiati. Disclaimer, karena ini catatan pribadi, mohon untuk tetap kritis dalam membacanya. Jika dirasa benar dan bermanfaat, sila diteruskan. Jika dirasa salah, mohon dikoreksi.
Saya menulis ini dengan tujuan mengikat ilmu. Setelah kurang lebih 1.5 tahun mengikuti mentoring psikologi mingguan, saya merasa perlu menuliskan ulang beberapa catatan penting. Tujuannya adalah agar semakin masuk ke dalam diri saya pemahamannya dan juga semoga bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Untuk tema pertama, kita mulai dengan persaingan antar saudara atau sering kita dengar istilah kerennya sibling rivalry. Dalam persaudaraan, tak jarang kita temukan kebencian dan rasa iri muncul. Hal tersebut sebenarnya wajar dan juga diperlukan. Anak yang tidak mengalami konflik antar saudara memungkinkan dia melewatkan kesempatan untuk melatih diri mengatasi masalah.
Sibling rivalry ini dimulai sejak memiliki saudara baru, yaitu ketika adik lahir. Yang perlu kita ingat sebagai orang tua, kehadiran adik baru ini dapat membuat perasaan yang tidak mudah untuk kakak. Kita sebagai orang tua harus membuat masa transisi ini menjadi lebih mudah untuk anak kita. Caranya? Jangan paksa anak untuk langsung menyukai adik baru.
Kehadiran orang baru dalam hidup itu tidak mudah. Bisa kita bayangkan misalnya, suami mengenalkan kepada kita seorang perempuan yang akan jadi istri barunya. Dia lebih cantik, lebih muda dan semua orang sangat tertarik dengan dia. Lalu suami meminta kita untuk menyayangi calon istri barunya tersebut. Mudahkah? Tentu tidak. Yes. Mungkin itu contoh ekstrimnya. Tapi intinya, kehadiran orang baru itu tidak selalu mudah untuk semua orang.
Kita bisa mengenalkan lebih awal dulu saat kita hamil, tentang kehamilan kita. Bagaimana nanti proses yang terjadi selama kehamilan di diri kita dan 9 bulan kemudian akan hadir adik bayi. Tidak perlu berlebihan untuk langsung bilang, ” kamu harus sayang yah. Gak boleh menyakiti” dan kata-kata lain yang akan menambah kecemasan kepada kakak. Dan tetap berikan perhatian penuh kepada kakak selama kehamilan kita.
Kita tahu, hormon kita ketika hamil itu tidak biasa. Bisa jadi ada perubahan dalam emosi diri kita dan itu dapat berpengaruh terhadap sikap kita kepada orang di sekitar kita, termasuk kakak. Jangan merasa lemah jika harus meminta suami untuk memberikan kita kenyamanan selama proses ini agar bisa bersikap lebih baik kepada kakak. Kelelahan dapat menjadi salah satu sumber perubahan emosi kita. Jadi yuk suami, bantu istri agar dapat lebih nyaman selama kehamilan.
Ketika adik lahir, jangan sampai perubahan ini terasa drastis untuk kakak. Biasanya, semua orang fokus pada adik yang baru lahir. Antusias. Lalu sang kakak akan merasa asing dan tidak diperhatikan. Penuhi kebutuhan bayi sesuai porsinya. Berbagi tugas dengan suami, terutama dalam hal-hal yang tidak memerlukan kita sebagai ibu. Selama adik bayi di-handle ayah atau support system lain, tetap luangkan waktu untuk kakak. Jangan sampai kakak kehilangan banyak momen yang sebelumnya dia dapatkan. Percayalah, semakin kakak merasa nyaman dengan perubahan ini, akan membuka peluang lebih cepat untuk kakak menyukai bahkan mencintai adik baru ini.
Pada proses selanjutnya ketika anak semakin besar, perhatikan hal-hal berikut ini:
- Mencintai anak dengan unik
Setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri. Temukan hal yang unik dari setiap diri anak yang kita sukai. Apresiasi anak-anak atas keunikannya itu. Selain anak-anak merekam keunikannya dan merasa penuh, kita juga sebagai orang tua jadi lebih aware terhadap keunikannya dan dijauhkan diri dari memperlakukan semua anak “dengan cara yang sama”.
- Perlakukan anak dengan adil
Setelah memahami bahwa anak itu unik, maka berikutnya kita harus adil dalam memperlakukan anak. Adil itu tidak sesederhana membagi satu potogan kue menjadi dua dengan sama besar untuk dua anak. Karena belum tentu kakak suka kue tersebut kan? Belum tentu juga dua-duanya sama-sama sedang lapar dan ingin makan kue? Gak sesederhana itu. Ini baru urusan kue. Gimana urusan yang lain yang lebih abstrak, misalnya kasih sayang?
Nah, maka adil itu harus dimulai dari mengenali kebutuhan setiap anak kita. Kakak punya kebutuhan emosi apa yang perlu kita penuhi, adik punya kebtuhan emosi apa yang kita penuhi. Ini harus dilakukan sebagai orang tua dengan pengamatan dan coba-coba. Respon dari mereka yang akan bisa meyakinkan kita apakah yang kita berikan itu sudah tepat atau belum. Sudah sesuai kebutuhannya atau belum.
Dalam konflik misalnya, tidak harus selamanya menjadi kakak itu harus mengalah dengan adik. Ada saatnya adik yang memang harus mundur dan mengakui, bahkan menerima konsekuensi. Gak ada rumus untuk adil, maka kita harus terus berusaha dan memperbaiki perilaku adil kita. Satu hal yang pasti, keadilan itu dapat dirasakan oleh anak.
- Persiapkan anak untuk menghadapi konflik
Dalam hubungan saudara, ada saatnya segala sesuatu tidak berjalan dengan baik. Pasti akan ada konflik. Makanya kita sebagai orang tua, jangan nambah-nambahin konflik di anak dengan sikap membanding-bandingkan, tidak adil, dll. Nah jika anak konflik, apa yang harus kita lakukan? Kita latih sedikit demi sedikit mereka untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Jangan jadi wasit terus. Kenapa? Karena gak selamanya kita akan bisa hadir menjadi wasit bagi mereka.
Kita bertindak ketika sudah ada yang mulai saling merusak atau berbahaya. Jangan sampai kita hilangkan kesempatan mereka menyelesaikan masalah dengan terus menerus menjadi ratu adil bagi mereka. Apa yang harus kita siapkan? Ajari anak untuk mengenali perasaannya, menerimanya dan menyampaikan kebutuhannya dengan baik. Disitu kita mengajari anak untuk fokus pada perasaan yang dia rasakan. Sehingga konflik lebih terarah.
Anak yang mampu mengenali, menerima dan menyampaikan perasaannya dengan baik maka akan lebih mudah melakukan dialog. Kemampuan anak untuk berdialog menjadi penting dalam menyelesaikan masalah antar mereka. Bangun kedekatan antar anak. Karena dialog tidak akan terjadi kalau anak-anak merasa saling berjauhan.
Tantangan paling besar buat saya sebenernya ketika ada salah satu anak yang mengadu. Karena mau tidak mau mereka melibatkan saya dalam konflik mereka. Disitu kita harus berusaha bersikap adil. Tapi kalau tidak mengadu, biasanya tantangan yang saya rasakan adalah berisik. Yah ketika mereka adu mulut bahkan kalau sampai teriak-teriak dan mencemooh. Nah, untuk berisik ini, saya lebih memilih menyampaikan kepada mereka untuk merendahkan dan memelankan suara, tidak harus terlibat langsung ke permasalahannya.
- Perlakukan anak secara individual
Jangan biasakan berdialog untuk isu individual anak di depan umum. Umum ini berarti di depan saudaranya juga. Jebakan buat saya itu adalah berbicara sambil ngapa-ngapain, beberes misalnya, untuk mengingatkan Khaleed akan sesuatu. Jadi adiknya bisa dengar. Kalaupun pesan yang akan disampaikannya perlu juga diketahui adik, belum tentu sang kakak nyaman adiknya tahu. Biasakan berdialog secara individual dengan anak. Disitu harga diri anak lebih terjaga. Kondisi sulit yang biasanya saya hadapi itu ketika ingin menasehati. Seringkali menjebak diri menasehati salah satu anak di depan anak lain. Ini perlu dihindari.
- We-time
Atur waktu, tenaga dan biaya untuk membersamai setiap anak sacara bergantian. Karena anak-anak perlu waktu dengan kita, dimana dia merasa fokus ortunya adalah hanya kepadanya. Perasaan itu akan sangat penting dalam membangun kepercayaan anak bahwa kita sayang sama dia.
Saya bukan tipe yang sudah bisa membuat jadwal untuk we time dengan setiap anak secara rutin. Namun jika ada gejala ke-jealous-an muncul di salah satu anak, seperti “Ah Bunda mah lebih sayang sama Alisha daripada sama Khaleed.” Nah, barulah saya ajak nge-date berdua. Dulu sebelum memahami kebutuhan ini, saya bereaksi dengan ucapan, “Gak lah mas. Bunda sayang sama Khaleed sama dengan sayang sama Alisha bla bla bla.” Intinya membeberkan fakta yang membuktikan kalau itu salah, sayang saya untuk mereka sama. Ternyata gak seefektif langsung memberikan perhatian khusus seperti we-time.
Sebagai penutup, sibling rivalry tidak selalu harus kita pandang buruk yah. Buruk itu ketika itu terjadi tanpa pernah ada solusi sehingga menjadi unfinished bussiness yang mempengaruhi emosi jangka panjang. Sibling rivalry bisa jadi sumber melatih keterampilan anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Tidak juga sibling rivalry ini dapat kita hilangkan, karena ini natural terjadi. Maka yang penting bagi kita adalah memanage sibiling rivalry ini. Hal ini menjadi penting karena ada juga orang tua yang berusaha mengihlangkan sama sekali. Contohnya, biar gak berantem, semua dibeliin mainan yang sama, dll. Ya, mungkin anak jadi anteng dan tidak berantem. Tapi anak kehilangan banyak kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan baik pada saudaranya.
wallahu’alam bishawab