Pada tahun 2014, menjelang pilpres, saya sempat merasa kesal dengan perdebatan politik untuk memperebutkan kursi RI 1 dan 2. Kenapa? Karena pada saat itu terasa bahwa semua orang darahnya mendidih. Ingin sekali menjatuhkan orang lain. Kadang penyerangan karakter itu bukan hanya ke sosok yang diperjuangkan tapi kemana-mana. Ke diri yang membela, ke keluarga yang membela, ke pekerjaan, ke organisasi, kemana-mana lah pokoknya. Dan sepertinya semua debat itu menjadi sengit. Saya sendiri pun beberapa kali terjebak di dalamnya.
2019 agak sedikit berbeda. Sekarang di beberapa grup WA, berangsur dingin. Sepertinya setiap orang menahan untuk tidak membicarakan politik atau apapun yang sedikit kaitannya dengan politik. Bahkan beberapa grup menjadikannya sebagai bagian dari aturan main grup, tidak ada urusan politik disini! Tegas sekali. Bagaimana tidak, kalau saja kita melempar topik politik, pasti akan terjadi perdebatan tiada akhir. Obrolan berubah menjadi siapa yang paling benar, bukan lagi menukar ide, gagasan atau sudut pandang. Begitu juga di sosial media. Suudzon saya, yang saling bertengkar itu sudah mengunfollow temannya, kemudian tersisa hanya teman-teman yang seide saja.
Meninggalkan perdebatan sebenarnya adalah hal yang bagus. Bahkan diwajibkan. Hanya saja, yang saya khawatirkan bukan perdebatannya itu. Tapi diamnya ini, menandakan matinya dialog. Seolah tidak ada topik lain selain politik. Seolah tidak ada topik yang bisa membangkitkan kegembiraan bersama. Kita memang tidak lagi beradu mulut, tetapi secara tidak sadar sebenarnya kita sedang sama-sama menjauh dalam diam.
Perlu kreatifitas untuk kemudian membuka dialog yang menghangatkan, yang menggembirakan atau mungkin yang menyatukan. Kelak ketika kehangatan dan keakraban sudah terbangun kembali, kita bisa mulai lagi belajar bagaimana berdialog yang sehat, yang di dalamnya akan terjadi pertukaran ide, gagasan dan sudut pandang, tidak lagi melulu bertengkar untuk menunjukan saya yang paling benar.