Pagi itu menjadi pagi yang sibuk bagi saya. Karena dengan 3 koper besar dan dua anak, saya harus melakukan penerbangan di pagi hari menuju Kuala Lumpur. ALhamdulillah adik saya bersedia mengantarkan kami sampai ke Bandara. Sampai bandara, anak-anak lapar. Qadarullah, saya juga lagi gak puasa, jadi kita sama-sama sarapan di Bandara. Anak-anak sangat senang dan bersemangat sarapan dan menunggu pesawat tiba.
Saat sudah naik pesawat, anak-anak menggambar, bercanda, membaca buku, dan tidur. Alhamdulillah perjalanan kali ini lancar. Mendaratlah kami di Kuala Lumpur. Check in. Istirahat. Di tengah lelah yang amat sangat, saya biarkan anak-anak bereksplorasi di kamar. Menggambar, makan, mandi, main lompat-lompat. Yang penting saya bisa istirahat dan mereka aman.
Sampai maghrib tiba, alhamdulillah anak-anak mudah sekali dikondisikan. Saatnya kami bertemu teman kami saat dulu tinggal di Cheongju, Sarah beserta Eliana dan Pesh, anak dan suaminya. Itu pun alhamdulillah lancar. Anak-anak senang, Bundanya senang.
Begitu sampai di hotel, kami bersiap tidur. Karena sangat lelah, anak-anak cepat tidurnya. Saya bingung. Tidur, kemaleman, takut ketinggalan pesawat esok hari yang shubuh banget. Kalau gak tidur, kecapekan. Tapi sebelum saya memutuskan itu, suara telepon berdering. Ummi. Ada apa Ummi menelepon semalam ini?
Dengan suara yang sendu, Ummi mengabarkan bahwa Abi sudah tidak ada. Cepat-cepat Umi menutup telepon. Saya hanya bisa terdiam. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar. Saya hanya ingat, bahwa Abi terakhir sakit syaraf kejepit. Tapi apa bisa separah itu sampai cepat sekali berpulang? Saya diam. Tidak bisa menangis. Tidak bisa apa-apa. Saya kosong.
Tak lama kemudian telepon berdering dari suami di Yangon dan mang di JKT. Keduanya mengabarkan hal yang sama. Tapi saya, masih bingung. Kosong.
Saat mencoba untuk beristirahat, saya baru mulai merasakan sakit teramat dalam. Saya mulai berfikir kemana-mana. Saya mulai memutar memori-memori bersama Abi. Saya mulai memutar bagaimana dulu tubuh saya yang kecil, dibonceng motor menyusuri jalanan di Aceh. Saya memutar bagaimana dulu saya dan kakak saya mengelilingi Jatim dengan bis dan motor dengan Abi saya. Memutar bagaimana dulu saya bersepeda bersama menyusuri jalan raya untuk pertama kalinya di sekitar tempat tinggal kami. Sampai akhirnya, diberi kepercayaan untuk bersepeda sendiri ke sekolah.
Dan mengingat memori-memori indah itu, rasanya menyesal karena diri ini tidak terlalu baik mengingatnya di saat-saat terakhir kehidupan beliau.
Banyak janji saya kepada diri saya yang tidak saya tepati. Saya berjanji, kalau saya tinggal di Jakarta, saya akan ajak beliau tinggal bersama keluarga kami. Memperhatikan kesehatannya, aktivitasnya, dll. Saya berjanji, akan mengajaknya ke optik untuk memeriksakan mata dan mengganti kacamatanya yang nampak sudah tidak terlalu nyaman dipakai, saat saya ke Jakarta.
Sebelum semuanya terjadi, ternyata Allah sudah berkehendak lain. Hilang sudah kesempatan.
Bahkan untuk bilang, “Abi, Nda sayang banget sama Abi” pun sudah hilang.
Saya gak tahu kapan terakhir membuat beliau bahagia. Di pertemuan terakhir, Abi minta diantar ke tempat terapi. Tapi tempat terapinya sudah tutup. Saya ajak makan siang, Abi menolak, karena sedang diet mengurangi berat badan agar lebih sehat. Agar berkurang sakit akibat syaraf kejepit. Tapi rupanya bukan itu sakit Abi yang menjemput ajalnya.
Abi sudah sempat bermain dengan Alisha. Walaupun saat itu, Alisha sedang ngantuk. Tapi sampai saya menulis tulisan ini, Alisha masih ingat. “Abah sakit.”
Ya Allah ampuni dosa Abi kami. Lapangkan kuburnya. Terima amal ibadahnya. Jauhkanlah dari fitnah setelah wafat.
Ya Allah mohon petunjuk-Mu selalu agar saya bisa menjadi anak yang sholihah yang doa-doanya dapat menolong Abi kami.