Empowering Not Exploiting

Menjadi orang tua dari Anak Laki-Laki berusia 5 tahun memiliki tantangan tersendiri. Ketika anak mulai bersekolah, godaan sebagai Ibu-Ibu adalah mengembangkan potensi anaknya. Saat anak suka nyanyi, pengennya anaknya les atau ikut lomba nyanyi. Ketika anaknya suka motorik kasar, pengennya anaknya les olah raga atau ikut lomba olah raga. Ketika anaknya suka permainan konstruksi, pengennya belikan mainan yang menunjang kesukaannya itu. Salahkah?

Pertanyaan itu sulit sekali saya jawab. Rasanya kalau uang saya tidak berbatas ingin mengembangkan semua minat dan bakat anak. Tapi apakah itu yang mereka perlukan? Saya bingung sekali menjawab ini. Apakah itu yang diperlukan anak usia 5 tahun? Kamu perlu nanya psikolog? Eits, bentar dulu. Ya. Saya adalah orang yang ketagihan psikolog. Sampai akhirnya saya bertanya sendiri, kenapa kamu gak PD banget sih jadi orang? Tiap ambil keputusan harus ada rekomendasi psikolog? Hehe. Bukan berarti merendahkan peran psikolog. Tapi saya jadi berfikir, kan manusia juga diberkati akal dan pikiran, juga pengalaman, maka belajar lah Bunda, untuk melihat, mendengar dan merasakan sendiri. Apa sebenarnya yang buah hati Bunda butuhkan?

Setelah mencoba melihat, mendengar dan merasakan, menurut saya anak saya butuh menjadi anak yang bahagia. Yang merasa bahwa Bunda sayang sekali sama dia dan sangat berharap ia menjadi anak yang bahagia, dunia dan akhirat. Nah, masalahnya susah banget nih nurunin itu semua untuk menjawab pertanyaan dasar yang pertama saya ajukan tadi.

Nah langsung lah saya analisis dua hal yang sedang dia gak suka sekarang ini:

  • Khaleed bosan berenang.

Khaleed suka sekali berenang. Sejak bayi. Dia belajar renang secara natural. Bahkan sebelum saya leskan, anak ini sudah bisa meluncur dengan kaki yang digerakan. Walaupun belum berani di kolam yang dalam. Saat saya leskan berenang, dia menjadi semakin PD dengan kemampuannya. Dia berani mengarungi kolam dalam. Dia mencoba bergaya bebas.

Namun belakangan ini, Khaleed sulit sekali mendengar guru lesnya. Yang dilakukannya kabur ke atas kolam. Bermain sendiri. Sampai saya mencoba memberikan pengertian setiap mau les berenang untuk mendengar apa yang guru lesnya katakan. Setelah frustasi, akhirnya pesan saya ganti, bersenang-senanglah mas di kolam renang. Sejauh ini masih tetap seperti itu. Dan juga sepertinya, salah satu guru renang yang expert belum sanggup menguasai Khaleed.

Dan akhirnya, saya dan suami memutuskan untuk berdialog sama Khaleed. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Khaleed ingin berenang sama Bunda. Khaleed bosan berenang dengan guru les. Padahal guru lesnya sudah dipilih yang terbaik di tempat les itu. Lalu kami membuat beberapa kesepakatan. Pertama, Mas latihan renang dulu sama Bunda, baru boleh bebas renangnya. Kedua, saat Bunda olah raga (renang), Mas Khaleed boleh bermain di dekat Bunda berenang. Ketiga, Mas Khaleed menunggu Bunda ganti baju di tempat yang aman.

Ternyata keinginan kami sebagai orang tua yang menginginkan anak kami menguasai berenang sejalan dengan keinginan Khaleed yang juga sebenarnya ingin berenang tetapi bosan di tempat lesnya dan berharap Bundanya yang mengajari dia berenang. Selagi saya masih bisa menghandle, gak ada salahnya kita ikutin. Mungkin nanti ketika mas semakin matang dan belajar mengatasi rasa bosan, Mas bisa join lagi ke Klub Renang.

  • Khaleed tidak suka bermain angklung.

Saya dulu senang sekali bermain angklung. Saat di Korea, saya mengenalkan angklung. Di event internasional, saya kenalkan angklung. Bahkan di pelatihan leadership, saya memilih Angklung untuk ditampilkan. Kali ini, Mas Khaleed mendapat kesempatan dari sekolah (setelah diseleksi) untuk bermain Angklung. Namun dia menolak. Menolak degan serius. Ya Allah…. Mas… Kenapa atuh?

Akhirnya kami berdiskusi lagi. Menggali. Dan jawabannya adalah, Angklung itu bukan kesukaan Khaleed. Main Angklung itu pegal karena harus berdiri terus gak ada duduk dan tidurannya. Khaleed lebih suka ikut shalat berjamaah sama nari. Karena pas nari dan sholat itu, kadang-kadang kita berdiri, kadang-kadang kita duduk, kadang-kadang kita tidur. Khaleed juga gak suka Bun baris, karena harus berdiri lama. Khaleed juga kan mau jadi pebuat robot bukan jadi tentara, jadi gak perlu baris.

Jawaban ini sungguh membuat Bundanya bingung. DI satu sisi, saya menangkap apa yang dia sukai dan tidak sukai. Sepertinya anak ini bisa diam kalau bermain robot, lego atau lasy. Tapi di sisi lain juga gak pengen anaknya jadi quitter. Karena kan untuk periksa paspor, masuk pesawat, naik kereta, kita kan harus baris dan antri. Semoga kamu bisa membedakan yah nak, mana yang wajib mana yang sunnah. Kali ini Bunda kategorikan Angklung sunnah buat kamu. Hehe. Jadi diterimalah alasannya.

Kenapa saya ambil dua cerita ini? Karena di dua cerita ini saya merasa tipis bedanya antara empowering atau exploiting. Di satu sisi ingin memberdayakan bakat anak. Tapi jangan sampai exploitasi bakat anak. Dengarkan juga suaranya. Berdialoglah. Kalau menurut kita ini sesuatu yang wajib, maka siapkanlah manuver untuk dialognya. Kalau sunnah, lebih renggang. Gitu aja dulu sambil trus belajar menjadi orang tua yang lebih baik lagi ke depannya.

Bimbinglah saya Ya Allah…

Advertisement

Tangisan Khaleed Malam Tadi

Tadi malam, jadwal semua kacau. Kenapa? Karena saya masang mode santai. Tapi, rupanya, untuk anak-anak perubahan pola bisa cukup mengganggu dan bikin rungsing. Alhasil adek isengin mas. Mas nangis. Mas isengin ade. Dan Ade kembali isengin Mas pas baca Iqra. Akhirnya Mas sulit sekali fokus dan malah bercanda terus. Karena Mas sudah kelewat bercandanya, sama Saya diingatkan konsekuensi kalau sikap Mas Khaleed kurang baik, Bunda tidak akan temani mas tidur (FYI, kami sudah berpisah kamar, tetapi sebelum tidur masih dibacakan cerita dan ditemenin dulu). Dan… Mas mengulang lagi bercanda ke Adiknya.

Baiklah. Konsekuensi dilaksanakan. Saya dan Adik tidur di kamar saya (padahal biasanya Adik pun tidur sama Mas), Mas di kamar dia sendiri. Mas masuk dengan biasa aja ke kamarnya. Saya pun masuk ke kamar saya. Beberapa detik kemudian tangisnya Mas pecah. “Bun, Mas gak mau tidur sendiri.” Lalu mas mulai menangis meminta saya untuk menemaninya tidur. Kami berdialog terpisah pintu. Tentunya Mas berdialog sambil menangis.

Saya ingatkan kembali kalau kita sudah deal, kalau Mas keterlaluan bercandanya, Mas tidur tanpa ditemani Bunda dulu. Dialog cukup alot (ni anak hebat banget deh negonya). Sampai akhirnya, nego deadlock dan Mas balik lagi ke kamar. Tanpa nangis.

Tapi dari kamar saya terdengar tangisan lagi. Tapi tangisan kali ini, tidak kencang. Seperti tersedu-sedu dan sambil berbicara. Karena tidak kencang, saya tidak bisa mendengar.

Tak lama kemudian. Ada suara anak lelaki menarik nafas di depan pintu dan berkata, “Bunda, Khaleed sudah tarik nafas. Khaleed sudah tenang. Khaleed juga sudah berdoa ke Allah tadi di kamar supaya Bunda maafin Khaleed dan mau nemenin Khaleed tidur. Karena Mas masih takut tidur sendiri.”

*dan emaknya terenyuh. Masya Allah di kondisi dia yang lagi sedih dan putus asa, yang dilakukan adalah menenangkan diri dan berdoa ke Allah*

*Bunda aja masih belajar Nak untuk seperti itu*

Akhirnya saya keluar. Adik sudah tidur lelap. Kami berdialog lagi. Bagaimana seharusnya sikap kita kalau kondisi seperti tadi. Kemudian Mas nego, “Bun, sekarang Adik sudah tidur, Khaleed bisa baca Iqro lagi. Karena kalau ada Adik Khaleed gak fokus jadi pengen bercanda terus. Habis itu Bunda temani Khaleed tidur yah.”

Deal.

Lalu Masya Allah, tabarakallah Nak, bacaanmu bagus. Lancar. Berarti alasanmu tadi bukan mengada-ada. Kamu perlu fokus saat membaca Iqra. Besok-besok Adik yang harus dikondisikan dulu kalau Mas lagi belajar Iqra.

Akhirnya malam ini kutemani Khaleed tidur sampai terlelap, baru pindah kamar.

Ya Allah lindungilah jiwa-jiwa anak-anak kami. Dekatkan selalu padaMu. Sandarkanlah selalu padaMu. Sungguh saya hanya bisa menjaga sekejap titipanMu. Sungguh yang Maha Menjaga adalah Engkau.