Orang Tua Kita Sempurna Dalam Ketidaksempurnaannya

Sekarang saya mikir, ilmu parenting itu menjamur sekali. Dari yang bisa didapat dengan gratis sampai seminar berbayar yang diisi oleh psikolog tenar. Berita baik untuk kami para orang tua baru. Makin kesini, ternyata dalam parenting pun ada aliran-alirannya. Saya rajin mengikuti perkembangannya, sampai suatu saat saya merasa bingung. Kenapa dengan ilmu parenting yang banyak itu, saya gak lihat hasil yang begitu keren dari diri saya ataupun orang-orang yang saya kenal aktif juga mengikuti kegiatan parenting. (orang-orang biasa aja yah)

Kemudian setelah berfikir keras, saya merasa, ilmu parenting itu baik tetapi parenting itu memang bukan hal yang mudah. Saya tahu marah itu gak baik, tapi susah untuk saya tidak marah kalau misalnya kejadian sudah begitu rumit. Saya tahu bersikap penuh perhatian itu baik, tetapi gak mudah ternyata jadi orang yang bisa mencurahkan perhatian dengan baik. Tapi bukan berarti salah. Hanya saja setiap orang tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga memerlukan daya juang untuk mengimpelentasikannya.

Dengan ilmu saja masih susah, kebayang kan kalau tidak dengan ilmu?

Pikiran saya ini kemudian membuat saya mengingat tentang seringnya dikatakan bahwa ada cara didik yang salah di zaman kita kecil dulu. Generalisir memang. Tetapi itu yang sering diungkapkan di seminar-seminar parenting. Sayangnya, sebagian orang terjebak pada masa lalu. Alias gak move on. Alih-alih membenarkan pola asuhnya, ini malah sedikit sebel sama orang tuanya, karena gak dididik sesuai ilmu parenting. Dan merasa beberapa hal tentang kekurangan dirinya saat ini adalah produk salah asuh. Bahkan ada teman yang bilang, kegagalan bisnisnya salah satunya adalah ia tidak dididik menjadi tough oleh orang tuanya. Astaghfirullaaahaladziim.

Saya pun kadang merasa seperti itu saat disebutkan kesalahan dalam mendidik anak. Tapi akhirnya saya merenung. Sekali lagi, saya keukeuh kalau ilmu parenting itu sangat penting. Penting sekali. Tetapi layaknya ilmu pengetahuan, sebaiknya menghantarkan manusia kepada kebijaksanaan bukan menyalahkan dan menjadi tidak bersyukur. Ada hal yang harus saya ubah dari cara saya memandang masa lalu dan masa depan.

Saya cukup tersadarkan setelah mengevaluasi pola asuh saya ke Khaleed selama ini. Saya merasa masih banyak sekali kekurangan. Yang mungkin di antara kekurangan-kekurangan itu, sebenernya saya tahu saya sebaiknya harus seperti apa. Namun saya tidak berhasil. Saya padahal merasa sudah berjuang keras untuk itu. Tetapi memang sepertinya perlu waktu.

Saya berfikir, bagaimana orang tua saya dulu? Google belum ada, Facebook gudangnya orang ngeshare link ilmu parenting juga gak ada, boro-boro motherhood forum dan kawan-kawannya. Lantas kemana orang tua kita dulu bertanya saat menghadapi kejadian-kejadian “lucu” anaknya yang membuat dia bingung harus bagaimana? Apakah mudah menjadi orang tua zaman kita kecil dulu?

Bukan hanya ilmu parenting, secara teknis mengurus anak saja jauh lebih tidak praktis. Dan tentunya, sebagai perempuan, pasti dapat mempengaruhi emosinya. Gak percaya? Cobain deh pas anak baru lahir gak pake pampers. Trus nyucinya gak make mesin cuci. Dan masih banyak ketidakmudahan lainnya.

Bisa gak kemudian kita memahami kondisi orang tua kita dahulu. It’s not easy to be them. Maka, bersyukurlah temans. Ini untuk saya juga. Bahwa kondisi kita hari ini, adalah hasil didikan orang tua kita yang penuh perjuangan. Alias gak mudah. Saya yakin, jika dibandingkan ilmu parenting yang kita tahu banyak saat ini, pasti banyak sekali kekurangannya. Tapi, lantas kenapa? Toh sekarang kita sadar dan kesadaran itu bukan untuk merubah masa lalu kita. Tetapi memperbaiki sikap kita untuk masa depan yang lebih baik.

Ketika kita sadar awalnya gak mudah bagi kita menjadi mandiri, padahal di ilmu parenting itu penting menjadikan anak mandiri. Ya sekarang kita sudah dewasa. Kita sadar dan kita bisa memilih mau berjuang atau tidak menjadi mandiri. Tidak kemudian, yah, saya mah dulu dididiknya gitu, jadi ya gini deh. Gak gituuuuu. Kita perbaiki diri kita secara pribadi dan sebagai orang tua karena ilmu parenting.

Tetapi jangan lupa juga kita juga harus perbaiki hubungan kita dengan orang tua. Yang telah membesarkan kita dengan susah payah. Sehingga bisa menghantarkan kita sampai saat ini. Kadang kita suka terpengaruh dengan sikap orang tua yang mungkin gak pas dengan kita. Tetapi, ayolah, kita sekarang sudah dewasa. Kita mainkan saja peran kita dengan benar. Tetaplah berbakti dengan khidmat ke orang tua. Berterimakasihlah atas perjuangannya. Jangan berterimakasih hanya pada hal-hal yang menurut kita sesuai dengan ilmu parenting yang kita tahu. Perjuangan mereka jauh lebih berarti dibandingkan kesempurnaan mereka dalam mendidik kita sesuai ilmu parenting.

Dan Allah menyuruh kita untuk berbakti bukan pada orang tua yang mendidik kita dengan ilmu parenting yang benar. Tetapi berbakti kepada orang tua, terutama ibu, yang telah mengandung, melahirkan dan menyusui kita. Belum lagi yang berjuang atas kehidupan kita sampai saat ini. Dan ingat, sekalipun kita berusaha, menurut saya kita juga manusia, yang pasti gak sempurna. Namun ketidaksempurnaaan kita dan orang tua kita sebagai orang tua, tetap akan merindukan bakti anaknya.

Advertisement

Kata-Kata Pak Habibie “Membudaya” Bikin Galau

Mimpi semua orang tua kali yah punya anak yang berhasil (dengan definisi masing-masing tentunya). Dan saya selalu penasaran tentang gimana sih seseorang dididik sehingga dapat menjadi seperti yang saya lihat sekarang, dengan kelemahan dan kelebihannya.

Salah satu tokoh yang saya kagumi di Bumi Pertiwi ini adalah Eyang Habibie. Eyang Habibie ini emang ada di hati saya. Saya senang karena dia ekspresif, cerdas luar biasa, konkrit, religius dan sepertinya memiliki kualitas hubungan yang baik dengan orang-orang penting di hidupnya.

Lalu ada kata-kata dari Pak Habibie yang membuat saya galau. Galau kenapa? Karena saya merasa dalam beberapa hal terlalu cuek dan jadi terkesan lucu-lucuan aja. Jadi pas ditanya tentang apa peran Ibu dan Istri? Beliau menjawab, bukan masalah berhasil nyekolahin dia ke Jermannya. Tetapi lebih ke sikap kerja dia yang dia rasa hasil pembudayaan Ibundanya. Kemudian dilanjutkan oleh Istrinya sehingga bisa menghantarkan dia ke gerbang cita-cita idealnya.

Luar biasa, ternyata peran sebagai Istri dan Ibu menjadi sangat penting bagi Eyang Habibie. Dan yang paling ngeri adalah sebagai Ibu yang soal “membudayakan”. Jadi yang terekam di Eyang Habibie tentu bukan hanya kata-kata sang Ibu. Melainkan keseluruhan dari Ibunya yang mendidik beliau, membiasakan beliau dengan hal-hal penting, nasehat-nasehat beliau yang terekam dan yang paling berat, adalah menjadi teladan bagi Eyang Habibie sehingga nilai-nilai itu membudaya di diri seorang Eyang Habibie.

Budaya itu berat. Karena merupakan proses yang tidak instant. Perlu konsistensi. Dan itu yang paling sulit dalam hidup.

Bukan Karena Tulisan Saya, Tapi Makasih Loh Pak Bupati Bandung Barat

Ehm, ceritanya saya lagi senang dengan kabar gembiar untuk kita semua ini (lo aja kaliiii). Hmmm, silahkan cek tulisan saya beberapa waktu lalu berjudul, “Dear Bupati Bandung Barat“.

Nah, ternyata sekarang jalannya ditutup. Jadi sudah lama gak ngerusak ban mobil dengan lewat jalan itu. Tapi kok lama banget ya ditutupnya? Rupanya ada perbaikan. Lalu karena penasaran saya meminta suami untuk lewat jalan tersebut tetapi naik motor. Pikir saya, kalau naik motor, kalau pun ditutup beneran sama sekali gak bisa lewat, ya bisa lewat pinggir-pinggirnya (kan ada halaman rumah orang) atau muter balik pun gak terlalu macet.

Dan… AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!! Jalannya dibeton…. Ulala…. Bagus banget. Sebelumnya bener-bener offroad dan jalanannya nanjak banget. Beberapa orang yang saya ajak lewat situ selalu bilang, “Duh Nda kayaknya cuman lo deh yang lewat sini.”

Alhamdulillah jalan favorit saya dibenerin sama Pak Bupati Bandung Barat. Terus sekarang doanya, semoga awet ya jalan bagusnya. Dan gak rame orang lewat situ, jadi tetap jadi jalan andalan menuju kampus dengan 30 menit sajoooooo (agak gak mungkin). Aaamiiin.

Terlelap di Motor

Mumpung Ayah dinas di Bandung, saatnya memanfaatkan motor sebagai moda transportasi yang hemat untuk kami sekeluarga. Alhamdulillahnya, Ayah adalah tipe pengendara yang aman. Gak suka ngebut-ngebut, tertib berlalu lintas. 🙂

Pulang pergi, membutuhkan waktu kurang dari 30 menit. Namun uniknya, di jeda waktu tersebut, Khaleed selalu terlelap. Mungkin 98% dari total frekuensi perjalanan, dia akan terlelap. Dan tidak diduga, bukannya merasa risih karena posisi tidur di motor kan beda yah sama di car seat? Dia tetap lebih semangat naik mobil. 🙂

Tapi bentar lagi Ayah bakal ditempatin enggak tahu dimana. Dan kayaknya masa-masa naik motor ini bakal jadi masa-masa yang dikangenin.

Emosi Sih, Tapi…

Akhirnya saya ketemu orang yang super nyebelin sedunia. Kenapa? Karena dengan pertemuannya yang hanya beberapa jam saja, doi berhasil membuat saya kesel parah. Ceritanya kami sedang gathering, dan kemudian doi bercerita tentang sedikit hal tentang sesuatu. Kemudian dia berbicara merendahkan sekali tentang sesuatu itu. Kesannya si sesuatu itu lebih buruk dari diri dia.

Tak lama kemudian, dia bincangkan lagi hal lain, mungkin dia pikir lucu, tapi buat saya itu berlebihan dan seolah dia tidak berfikir bahwa saya pun berfikir hal yang sama tapi menahan diri untuk tidak mengatakannya karena menurut saya, dapat merendahkan alias gak sopan.

Pas hari H rasanya sebel aja. Pas hari berikutnya, hati saya masih sebel dan berfikir untuk bales dendam. Kenapa? Karena saya mikir, bukannya apa-apa, masalahnya dia bukanlah orang yang cukup punya kredibilitas baik di mata saya. Banyak sekali hal-hal dasar yang membuat saya kurang respect.

Lalu saya cerita tentang rencana saya suatu saat nanti akan menjatuhkan dia di depan umum. Dengan emosi yang membara. Untungnya, suami saya bilang, “Susah ya bun, ikhlas teh. Gak gampang ya gak ngebales hal buruk dengan yang buruk teh. Bunda kemarin sudah bagus kok menjawab tanpa emosi dan gak membalas. Bukannya itu tantangan kita dalam hidup? Membalas keburukan, justru dengan kebaikan. Gak semua dalam hidup akan baik kan ke kita?”

“Tapi sekali-kali harus diingetin ay, orang kayak gitu. Dan harus yang gak kalah nyelekitnya. Biar dia nyadar gak enaknya digituin. Nyebelinnya parah. To the max. Dia pikir, dia dah perfect apa? Errrr!!!”

“Sok deh, luruskan lagi niat, apa bener niat Bunda emang pengen membuat dia berubah? Atau justru hanya balas dendam?”

Dan gak perlu mikir lama, saya nyadar banget niatnya adalah balas dendam. Hufh! Ya Allah, ternyata membalas keburukan dengan kebaikan itu tidak semudah seperti saya mengomentari kenapa ada orang emosian nanggepin hal-hal yang emang bikin emosi. Kadang-kadang suka komen, ya Allah, bukannya agama gak ngajarin kita untuk menyakiti orang lain? Gak gampang yah ternyata.

Terimakasih suami, dah jadi imam yang baik yang mengingatkan saya di kala khilaf. Ayo kita sama-sama di bulan Ramadhan ini bersihkan hati dengan memperbanyak mendekatkan diri kepada-Nya. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang memenangkan hawa nafsu kita.

Ada hal menarik setelah kejadian curhat sama suami. Jadi kami langsung main bulu tangkis. Disitu, saya merasa, berkat pelajaran curhat tadi, saya belajar lebih mengontrol emosi. Sehingga performa permainan menjadi lebih stabil.

Tuh kan, berguna ternayata mengontrol emosi teh. Bimbinglah terus hati, pikiran dan amalan kami ya Allah….