Kerja di Malam Hari

Gara-gara dapet tugs presentasi tentang manajemen waktu, jadi mikir-mikir, ini dia masalah gw akhir-akhir ini. Entah kenapa progress riset merasa berjalan lamban. Sebenarnya bukan lamban atau tidaknya sih tetapi merasa tidak pernah bekerja penuh fokus dengan waktu yang lama layaknya ketika mengambil S2 dulu.

Nah, usut punya usut, ternyata setiap manusia punya jam produktif masing-masing. Dan saya percaya ini dibangun dari kebiasaan. Jaman dahulu kala, saya sering mengerjakan sesuatu dimulai dengan setelah maghrib. Jadi setelah maghrib itu rasanya sangat fokus, tenang dan siap bekerja keras. Waktu terasa lebih panjang. Alhasil, saya biasa bekerja sampai jam 3 pagi. Kemudian tidur. Shubuh. Tidur lagi. This is the problem.

Sekarang, demi menjadi teladan yang baik bagi anak dan keluarga. Maka saya biasakan tidur cepat dan bangun awal. Tapi rupanya, hari-hari sering berlalu tanpa effort yang besar karena sulit untuk fokus. Tidak ada lagi masa-masa do till the limit di malam hari seperti dahulu kala. Karena nanti Khaleed jadi ikutan begadang ataupun kalau gak, saya gak fresh di saat jam Khaleed fresh. It is not good. Yes I know.

Now? Nah, konon juga, lakukan rutinitas berturut-turut selama 4 minggu dapat merubah kebiasaan. Intinya, sekarang saatnya merenung, mengumpulkan tekad, membuat rencana untuk merubah kebiasaan produktif di malam hari menjadi siang hari. Di awal harus dipaksa fokus. Mungkin setelahnya bisa menjadi kebiasaan baru.

Yuk, mari bekerja di siang hari! Beristirahat di malam hari!

Advertisement

Dear Bupati Bandung Barat

Dua hari ini sedang berduka karena semakin buruknya kondisi jalan yang biasa dilewati untuk pulang pergi rumah dan kampus+daycare Khaleed. Jalanan sepanjang kurang lebih 5 km, naik turun gunung dengan ukuran yang sempit, tetapi alhamdulillah gak ada macet. dari jalan sepanjang itu, ada bagian yang sulit banget. Karena jalannya rusak. Setelah musim hujan jadi semakin rusak dan hampir tidak bisa dilalui oleh mobil. Motor walaupun bisa tetapi tetap sangat berbahaya.

Dear Pak Bupati, tolong dong dibenerin jalannya. Karena saya bisa save waktu 20 menit sekali jalan dibandingkan harus lewat Jl. Suci di jam padat tiap harinya. In the name of equality juga, masa desa sebelumnya dah dikasih jalan beton, sedangkan desa yang ini masih batu-batu dan tanah.

OK Pak Bupati? Hatur nuhun…

Malas Memasak

Sekarang sedang masuk pada fase malas memasak. Entah kenapa rasanya gak pernah puas dengan hasil karya sendiri. Waktunya lama. Rasanya tidak enak. Ribet pulak. Padahal ada masa-masanya merasa senang masak.

Sepertinya effort memasak untuk sendiri dan memasak dua masakan untuk saya dan Khaleed emang terlalu besar dan time consuming. Pilihannya, stay hemat atau boros. Kalau hemat ya berarti gak usah masak dua kali. Tapi makan aja masakan Khaleed, gak usah ngikutin selera sendiri. Atau jadi boros, dengan cara beli makan di luar aja trus. 😀

Ada solusi lain yang lebih bijak kah?

Bukan “Heueuh” Bunda, “Iya”

Sekarang kayaknya setiap alasan atau penjelasan yang saya ungkapkan untuk menyikapi satu masalah dengan Khaleed akan menjadi rekaman di otaknya dan dia langsung dapat mengeluarkan ingatannya itu kapan saja. Seringkali penjelasan yang saya ungkapkan dia asosiasikan di kasus lainnya yang memang mirip. Ya, sepertinya perkembangan kognisi Khaleed sedang sangat berkembang.

Salah satu yang membuat saya tertawa setiap harinya adalah masalah penggunaan kata “Heueuh” untuk mengiyakan pertanyaan yang diajukan lawan bicara. Jadi penggunaan “Heueuh” dijelaskan oleh Eninnya bahwa itu tidak sopan. Yang sopan adalah dengan menjawab, “Iya.”

“Bunda, Khaleed minum Yakult ya?”

“Heueuh.”

“Bukan ‘heueuh’ Bunda, ‘iya’….”

“Oia, ‘iya’…”

“Bunda, Bunda nanya dong ke Khaleed.”

“Nanya apa?”

“Nanya ke Khaleed Bunda.”

“Hmmm…. Mas Khaleed baik sikapnya hari ini?”

“‘heueuh’… eh… ‘iya’…”

Dilanjut dengan ketawa cekikikan. Dan sekarang lagi hobi banget disalah-salahin dalam mengiyakan sesuatu dengan bilang ‘heueuh’ terus gak berapa lama diralat jadi ‘iya’. Kolkol…. You’re my sunshine…. :*