Bulan ramadhan di Korea bukan kali pertama untuk saya. Karena tahun kemarin ketika pertama kali datang ke Korea, itu juga pada bulan ramadhan. 10 hari sebelum lebaran tepatnya. Tapi entah kenapa shaum kali ini terasa lebih berat. Karena panasnya. Dan mungkin karena beban penelitian yang sudah mulai ngegebruk di badan saya. Beda dengan tahun kemarin yang masih merasa menjadi turis di lab. 😀
Hari pertama shaum , agak shock dengan pulang pergi ke luar kota dengan udara sangat panas. Luar biasa. Ini baru shaum. Menantang. 😀
Dan undangan gathering lab yang sudah diaccept sejak minggu kemarin semakin dekat. Oh God, ikut gak yah. Ke pantai pulak. Kebayang orang-orang pada berenang, minum minuman dingin, malemnya mabok-mabokan, tidur larut. >_< Ntar gw ngapain yah? Males sebenernya.
Tapi eh tapi. Di Korea ini tidak hadir dalam sebuah undangan bukan perkara kecil. Begitu juga sebenarnya dengan Islam yang menganjurkan memenuhi undangan jika diundang. Dan? Gak ikut? Alesannya shaum? Oh, man…. Rasul juga dulu perang di bulan ramadhan. Di Arab lagih. (kalau dibayangin keknya panas gilak)
Jadi? Kenapa gak mau? Ini mah benar-benar kemalasan yang datang dari diri saya. Pengennya shaum teh diem, gak banyak gerak. Tiba-tiba dah buka. Beuh, enak bener. Ke laut aja. Gak usah shaum.Hahaha. Lah ini kan emang diundang kelaut. Hehe. Dah mulai gak nyambung.
Dan akhirnya setelah merenung semalaman, OK deh. You don’t have any other reason buat nutupin kemalasan kamu hey Gadis! OOps! I am not gadis anymore. Haha. I am married. 😀
Pergilah saya. Tapi dengan sedikit manja. Karena datangnya telat menyusul bersama profesor saya. Biar gak ikut bantu-bantu beresin tempat nginep. Haha. Minus one. Noted.
Di sepanjang perjalanan sungguh membosankan. Ujian pertama. Pengennya cemberut. Tapi ngapain lah, gak jadi cepet juga nyampenya. Di mobil berempat. 3 orang Korea dan berbicara dengan bahasa Korea. Kalau pun ngerti artinya, keknya saya gak minat-minat amat nimpalin atau apa. Dan saya baru nyadar, ternyata saya orangnya sebenernya males ngomong kalau bener-bener lagi gak mood. And that was.
Tapi seperti tuntutan budaya. Sebagai junior yang baik saya harus besikap manis. Tapi lagi-lagi, percuma kalau gak dari hati. Bikin basi eh idup. So, di sepanjang perjalanan terus merenung dan menata hati supaya bisa tetap menjaga mood bahagia saya. DOne! You did it Nda!
Jadi inget di sepanjang perjalanan dari mulai berangkat sampai sampe di tempat. Saya merepotkan Prof saya berkali-kali untuk menjelaskan kenapa saya gak makan dan minum ke orang-orang yang nanya. Karena menurut pengalaman saya, kalau saya yang jelasin, gak semua orang langsung ngerti. OK. Thank you, prof.
Sampai di tempat yang dituju. Yak! I am hoki. Saya gak diuji sama Allah. Malah dikasih kenikmatan. Udara disana begitu bersahabat. Suasana pantai yang luas, membuat hati selalu merasa lega. Selega pantai. Pantainya sepi. Sesepi hati saya. Haha. Norak deh yah tulisannya mulai.

And I really enjoyed the situation. Gak nyangka. Padahal waktu di rumah, ngebayanginnya bakal kek neraka. Di pantai semua orang minum-minuman es, makan semangka. Saya pengen? Big no. Biasa aja. Karena ada yang lebih asyik. Berkumpul dengan orng-orang baru. Belajar budaya orang. Menikmati pantai. Senior-senior lab yang ramah. 180 derajat banget dari apa yang saya bayangkan. Dan gak kerasa, udah mau maghrib aja. Continue reading →