Masyarakat berkembang mengikuti berjalannya waktu. Terlepas dari benar atau tidaknya teori Darwin, hal yang pasti, manusia berubah. Berubah karena manusia terus melihat, mendengar dan merasa. Kemudian dengan akalnya manusia memproses informasi dan memberikan respon perubahan. Keinginan mendasar manusia untuk selalu mendapatkan yang lebih dari yang dimilikinya hari ini, membuat perubahan itu menjadi logis adanya.
Manusia semakin berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik. Minimal untuk dirinya sendiri. Adapun manusia-manusia pilihan, mengorbankan keinginan dalam diri untuk memenuhi keinginan yang lebih besar lagi, masyarakat. Mereka terus berfikir bagaimana dan bagaimana. Menjawab pertanyaan bersama. Sehingga setiap orang mendapatkan bagiannya. Mendapatkan jatah kebahagiaannya.
Oleh karenanya muncul konsensus-konsensus antar mereka untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, yang lebih hakiki kebaikannya. Sehingga manusia-manusia ini selalu ditunggu-tungggu kehadirannya. Untuk kehidupan yang jauh lebih baik.
Tidak dapat dikatakan sebuah bangsa yang besar, manakala di tengah terpenuhinya perut-perut Si Kaya, namun masih terkulai lemas tubuh-tubuh Si Miskin mencari sedikit pengganjal perut yang mungkin hanya ia dapatkan dua atau tiga hari sekali.
Yang nyaman berfikir hidup ini adil. Mereka menikmati hasil keringatnya. Tanpa peduli apakah yang ia miliki adalah seratus persen hanya berisi hasil keringatnya. Ataukah ada keringat orang lain yang tak dihitungnya. Atau ada hak orang lain yang tidak ia sadari itu bagian dari kewajibannya. Sehingga ia memandang Si Miskin itu adalah si malas. Yang lebih banyak berdiam dari dirinya. Padahal sebagian dari kegagalannya meliputi kemalasan, kemalangan, dan atau entah apalagi. Untungnya, setiap Sang Kaya mungkin selalu diajari untuk menutup mata. Anggaplah mereka memang sedang tidak beruntung saja dan tidak berusaha untuk berbuat sesuatu. Selain berfikir menemukan cara baru untuk menghabiskan limpahan hartanya detik demi detik.
Yang kepayahan yang juga malas atau pun malang, memang tampak lebih bersahaja secara kasat mata. Tapi kita tidak pernah tahu yang terdalam dari hati dan pikirannya. Mungkin mereka mencoba meratapi dengan selimut sabar. Mencoba mempercayai adanya roda dalam kehidupan, dan berangan roda itu membawanya hingga ke atas. Ada saatnya. Pasti ada saatnya. Sehingga pada masa yang ia tentukan dalam pikirannya saja, ia memutuskan, untuk menghakimi selain dia dengan label ‘tidak adil’.
Manusia tetaplah manusia. Memiliki keinginan dan kemauan. Kemauan mendorongnya untuk berusaha. Tetapi keinginan hanya membuat air liurnya tumpah dalam lamunan pajangnya. Ada masa lain, disebut kebosanan. Ketika keinginan itu semakin kuat dan semakin mendesaknya sehingga menjadi sebuah kemauan. Akan tetapi, apalah Si Miskin ini. Apalah bekal yang dia punya untuk memenuhi kemauannya itu selain mulut untuk berteriak. Sesaat kemudian, berteriaklah mereka. Sekencang yang mereka mampu. Karena baginya, itulah satu-satu kemampuannya.
Berteriak dengan penuh harapan tentunya. Tetapi namanya kedunguan, selalu tidak dapat memahami respon di luar pendengaran nyatanya. Geram. Marah. Kemudian dalam keterhimpitannya, ditambah dukungan manusia-manusia penuh kepentingan, geramnya itu diarahkan. Geram mereka dijadikan sebuah komoditas pencapaian harapan. Tega…
Apakah kondisi ini merupakan di balik layar dari kehidupan berpolitik dan bermasyarakat di Indonesia?
Lantas darimana asalnya si miskin, si kaya dan si penuh kepentingan itu?
Alamikah adanya?
Atau bentuk ketidaksengajaan pendahulu kita. Atau bentuk rekayasa pendahulu kita. Atau salah kita. Atau salah aku. Salah kamu. Salah siapa Indonesia ini?
Apa yang akan kita jawab?
Kalau saya akan menjawab, yang salah adalah pertanyaannya.
Yang benar adalah, sudah berbuat apa? Sedang dan akan memberi apa kamu terhadap bangsa ini?
Ayo jawab mahasiswa! Bukan berteriak! Bukan menggalakkan ribuan barisan mengganggu masyarakat. Bukan layaknya teroris yang menyediakan diri terbunuh untuk mendapat gelar pahlawan. Karena pahlawan yang sesungguhnya, bukan yang gugur karena gagal menyelamatkan tubuh dalam aksinya. Tetapi yang berhasil menyelematkan harga dirinya sebagai manusia dan harga diri bangsanya.
“Apa yang kamu miliki? Dari situ saja kamu berjalan dan bersabar dalam usahamu.” –anonim-