MEMECAH KEBIASAAN BURUK

Ayo-ayo, ada yang lagi berminat merubah kebiasaan buruk? Ayo saya temenin. Saya juga sekarang lagi mencoba menghilangkan beberapa kebiasaan buruk saya. Katanya kalau kita sudah berhasil melewati 40 hari masa beradaptasi, insya Allah kita bisa berubah.

Kalau mau ikutin cara yang didapet dari buku A Note From Friends, kita tulisin aja kebiasaan apa yang akan menggantikan kebiasaan buruk kita. Misal, kita gak mau lagi jorok. Maka ganti dengan kebiasaan baru seperti membersihkan kamar setiap pagi, cuci kaki, tangan dan gosok gigi sebelum tidur. Coba tuliskan dengan spidol yang berwarna. Yang mana kalau dilihat bikin suasana hati kita antusias.

tempel aja di spot yang menarik buat kita. Kalau saya memilih di belakang pintu lemari baju. Hehe. Pertama biar gak semua orang bisa lihat, karena kadang suka malu. Terus biasanya kalau buka lemari baju kan kalo gak untuk ganti baju ketika lelah pulang dari suatu tempat atau gak pas pagi abis mandi. Nah, suasana itu pas banget ngingetin saya untuk menjalankan kebiasaan tersebut.

Ada lagi. Konon katanya jangan lupa untuk mencuri energi dari orang lain. Kalau seseorang dapat memberi energi lebih buat kita untuk berubah. Why not? Kita manfaatkan saja energi itu.

Advertisement

HIKMAH BANGUN PAGI

Pernah tau gak? Kalau tidur di pagi hari, selain bisa bikin kepala kita pusing dan badan lemes, ternyata dapat memicu kanker darah. Penelitian itu silahkan dicek lagi kebenarannya. Yang jelas, dua kawan saya ada yang terserang penyakit tersebut didiagnosa karena kebiasaan bangun siangnya itu.

Dan tadi sore, ketika sedang mencari makan dengan Anas, dia pun menambahi. Kalau paginya bangun kesiangan, biasanya susah untuk menjadi produktif seharian. Tidak percaya?

Ayo buktikan dengan bangun pagi hari dan terus beraktivitas. Jangan tidur lagi.

MENUJU FINAL TENIS MEJA SE-RT

Perjalanan Bandung-Jakarta-Batam berujung di rumah saya. Sesampainyadi depan rumah, saya melihat ada ramai-ramai orang berkumpul. Ya, di pelataran mesjid depan rumah sudah dipasang dua buah meja tenis meja. Ada apa nih?

Belum sempat terjawab, eh, sudah ada teguran dari teman dekat rumah. Intinya dia mengajak saya untuk berpartisipasi di perlombaan tenis meja se-RT. Wah, menarik, pikir saya. Saya setujui saja tawaran itu. Besok malamnya pertandingan dimulai.

Bayangkan, saking range umurnya tidak dibatasi, di pertandingan pertama, saya berhadapan dengan seorang nenek berusia 60an. Waduh,,, Gimana nih? Tapi akhirnya di-WO. Soalnya neneknya jadi takut capek gara-gara lawan anak muda. Hehe. Padahal belom tentu nek. Kali nenek ini lebih jago. Tapi ya sudahlah.

Kemudian, di pertandingan kedua, saya bertemu orang yang sekampus dengan saya. BEda jurusan, sering lihat, tetapi tidak kenal. Dan akhirnya saya menang dua babak langsung. Sepertinya dia sudah kalah mental duluan. Hihi. Seru juga nih lama-lama. Pertandingan itu membuat saya lolos ke perempat final besok.

Hari ini, tepatnya beberapa jam sebelum saya memasukkan postingan ini. Saya mengikuti dua pertandingan. Lagi-lagi, satu WO. Dan satu lagi bertanding melawan jagoan RT. Luar biasanya, lawan saya adalah ibu-ibu berusia 50 tahun. Lebih lagi, saya menang tipis, 2-1. Di babak pertama, saya kalah. Tampaknya kalau di atas angin, mental saya jelek. Sehingga permainan hancur, padahal sempat memimpin.

Di babak kedua, saya belajar dari sebelumnya. Berusaha lebih tenang, fokus, tidak menyepelekan lawan dan mengatur kekuatan pukulan. Alhasil, saya berhasil memenangkan babak itu dengan skor tipis. Ya, dengan Juz. Di babak ketiga, saya sudah mulai mendapatkan feel nya. Dan bermain lebih lancar dan menang mudah.

Wah, ramai orang menonton. Awalnya agak malu. tapi ini kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Banyak tetangga baru nampaknya yang belum saya kenal. Lagipula lumayan, hadiahnya handphone. Kali aja menang, kan bisa dijual HP nya buat modal laen. Hehe.

Final diadakan tanggal 16 Agustus. Lama banget emang. Mungkin biar bisa latihan dulu. Lawan berikutnya jago banget nih. Technically, sebenernya gak terlalu takut. Tapi mentally, kayaknya bagus banget. Wah, wah, jadi deg-deg an.

RINDU NATSIR

Entah kenapa akhir-akhir ini ada selera yang berubah di diri saya. Politik bagi saya, beberapa waktu yang lalu, merupakan sesuatu yang asing. Melewat begitu saja seperti iklan dalam hidup. Tapi, setelah membaca uraian semi-panjang tentang Muhammad Natsir, saya menjadi tertarik mengetahui seluk beluk dunia politik, khususnya di Indonesia.

Saya bangga bahwa Indonesia sempat memiliki tokoh politik seperti Muhammad Natsir.

Politik bukan menjadi kendaraan pencapaian harta dan kedudukan. Melainkan perjuangan ideologis. Ideologis cenderung lebih kuat dan mengakar dalam diri seseorang. Lebih kagumnya, walaupun perjuangannya berbasis ideologis, namun beliau tetap santun dan menghargai lawan main politiknya.

Kedudukan yang didapat untuk tokoh sekelas perdana mentri pun tidak membuat kehidupannya mewah. Rasanya beda banget yah…

Sekarang secara etika saja, politikus kita sudah carut marut. Ada yang disuap mau, main perempuan, hidup bermewah-mewahan dari uang negara, dan masih banyak lagi. Pokoknya lebih banyak yang berbau tidak etisnya. Menyedihkan memang. Terus bagaimana ya kira-kira? Apa Indonesia masih mungkin mengembalikan tokoh-tokoh politik yang memiliki idealisme layaknya Natsir?

Aduh, masih belum bisa jawab euy saya.

Yang jelas, saat ini politik jadi begitu cantikbagi saya. Kata politik bagi saya tidak lagi identik dengan tikus. Tetapi dengan Natsir. Jadi ingin mendalami lagi dunia politik ini. Tapi kanan-kiri banyak yang belum mendukung. Kenapa yah….

SEDERHANA SEKALI

Kenapa kamu membunuh istrimu sendiri? Aku butuh uang…

Kenapa  kamu mencuri? Aku butuh uang…

Kenapa kamu hancurkan pagar itu? Mereka tidak mendengar…

Kenapa kamu berbohong? Karena aku harus memberi anak istriku makan…

Kenapa kamu memukuli teman-temanmu? Itu tradisi kami…

Kenapa kalian semua berkelahi? Mereka meremehkan anggota kami…

Huh… Sederhana sekali… Adakah jembatan yang lebih baik untuk mereka?

INDONESIA DAN MAHASISWA

Masyarakat berkembang mengikuti berjalannya waktu. Terlepas dari benar atau tidaknya teori Darwin, hal yang pasti, manusia berubah. Berubah karena manusia terus melihat, mendengar dan merasa. Kemudian dengan akalnya manusia memproses informasi dan memberikan respon perubahan. Keinginan mendasar manusia untuk selalu mendapatkan yang lebih dari yang dimilikinya hari ini, membuat perubahan itu menjadi logis adanya.

Manusia semakin berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik. Minimal untuk dirinya sendiri. Adapun manusia-manusia pilihan, mengorbankan keinginan dalam diri untuk memenuhi keinginan yang lebih besar lagi, masyarakat. Mereka terus berfikir bagaimana dan bagaimana. Menjawab pertanyaan bersama. Sehingga setiap orang mendapatkan bagiannya. Mendapatkan jatah kebahagiaannya.

Oleh karenanya muncul konsensus-konsensus antar mereka untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, yang lebih hakiki kebaikannya. Sehingga manusia-manusia ini selalu ditunggu-tungggu kehadirannya. Untuk kehidupan yang jauh lebih baik.

Tidak dapat dikatakan sebuah bangsa yang besar, manakala di tengah terpenuhinya perut-perut Si Kaya, namun masih terkulai lemas tubuh-tubuh Si Miskin mencari sedikit pengganjal perut yang mungkin hanya ia dapatkan dua atau tiga hari sekali.

Yang nyaman berfikir hidup ini adil. Mereka menikmati hasil keringatnya. Tanpa peduli apakah yang ia miliki adalah seratus persen hanya berisi hasil keringatnya. Ataukah ada keringat orang lain yang tak dihitungnya. Atau ada hak orang lain yang tidak ia sadari itu bagian dari kewajibannya. Sehingga ia memandang Si Miskin itu adalah si malas. Yang lebih banyak berdiam dari dirinya. Padahal sebagian dari kegagalannya meliputi kemalasan, kemalangan, dan atau entah apalagi. Untungnya, setiap Sang Kaya mungkin selalu diajari untuk menutup mata. Anggaplah mereka memang sedang tidak beruntung saja dan tidak berusaha untuk berbuat sesuatu. Selain berfikir menemukan cara baru untuk menghabiskan limpahan hartanya detik demi detik.

Yang kepayahan yang juga malas atau pun malang, memang tampak lebih bersahaja secara kasat mata. Tapi kita tidak pernah tahu yang terdalam dari hati dan pikirannya. Mungkin mereka mencoba meratapi dengan selimut sabar. Mencoba mempercayai adanya roda dalam kehidupan, dan berangan roda itu membawanya hingga ke atas. Ada saatnya. Pasti ada saatnya. Sehingga pada masa yang ia tentukan dalam pikirannya saja, ia memutuskan, untuk menghakimi selain dia dengan label ‘tidak adil’.

Manusia tetaplah manusia. Memiliki keinginan dan kemauan. Kemauan mendorongnya untuk berusaha. Tetapi keinginan hanya membuat air liurnya tumpah dalam lamunan pajangnya. Ada masa lain, disebut kebosanan. Ketika keinginan itu semakin kuat dan semakin mendesaknya sehingga menjadi sebuah kemauan. Akan tetapi, apalah Si Miskin ini. Apalah bekal yang dia punya untuk memenuhi kemauannya itu selain mulut untuk berteriak. Sesaat kemudian, berteriaklah mereka. Sekencang yang mereka mampu. Karena baginya, itulah satu-satu kemampuannya.

Berteriak dengan penuh harapan tentunya. Tetapi namanya kedunguan, selalu tidak dapat memahami respon di luar pendengaran nyatanya. Geram. Marah. Kemudian dalam keterhimpitannya, ditambah dukungan manusia-manusia penuh kepentingan, geramnya itu diarahkan. Geram mereka dijadikan sebuah komoditas pencapaian harapan. Tega…

Apakah kondisi ini merupakan di balik layar dari kehidupan berpolitik dan bermasyarakat di Indonesia?

Lantas darimana asalnya si miskin, si kaya dan si penuh kepentingan itu?

Alamikah adanya?

Atau bentuk ketidaksengajaan pendahulu kita. Atau bentuk rekayasa pendahulu kita. Atau salah kita. Atau salah aku. Salah kamu. Salah siapa Indonesia ini?

Apa yang akan kita jawab?

Kalau saya akan menjawab, yang salah adalah pertanyaannya.

Yang benar adalah, sudah berbuat apa? Sedang dan akan memberi apa kamu terhadap bangsa ini?

Ayo jawab mahasiswa! Bukan berteriak! Bukan menggalakkan ribuan barisan mengganggu masyarakat. Bukan layaknya teroris yang menyediakan diri terbunuh untuk mendapat gelar pahlawan. Karena pahlawan yang sesungguhnya, bukan yang gugur karena gagal menyelamatkan tubuh dalam aksinya. Tetapi yang berhasil menyelematkan harga dirinya sebagai manusia dan harga diri bangsanya.

Apa yang kamu miliki? Dari situ saja kamu berjalan dan bersabar dalam usahamu.” –anonim-