Anak kecil memang polos. Tetapi mereka bukan tidak berfikir. Perilaku mereka yang unik sebenarnya lebih logis dibandingkan dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak kecil cenderung murni menggunakan pengalamannya dan informasi di sekitarnya dalam bertindak. Kalau berbicara tentang anak kecil, saya suka mengingat-ingat tentang masa kecil saya.
Saya sekarang adalah kumpulan dari masterpiece kecil saya. Teringat ketika duduk di bangku SD, betapa gigihnya perjuangan untuk menguasai olah raga sepak bola. Padahal saya tidak mengikuti kursus nya, tidak seperti berenang. Tapi setelah dipikir-pikir, sebagian besar permainan saya waktu kecil dihabiskan dengan bermain sepak bola.
Awalnya mungkin karena umur yang berdekatan dengan kakak laki-laki saya, MHAM. Sehingga apa yang dia mainkan, menjadi mainan saya juga. Kebetulan saat awal-awal pindah ke Surabaya, kami jarang bermain dengan tetangga. Lebih sering bermain di rumah. Bermain Catur, Petak Umpet, Balok dan lain-lain. Kalau bosan kami cenderung membuat permainan baru ala kami. Tapi untuk olah raga sepak bola ini, sangat spesial. Abang saya terlihat niat mengembangkan kamampuan saya yang satu ini.
Mencuri-curi waktu tidur siang di garasi rumah. Kami melakukan adu pinalti atau dalam bahasa kami ‘shoot-shoot’-an atau ‘goal ganti’. Yah, anak kecil selalu memiliki istilah yang unik. Kami bubar kalau Ummi kami terbangun dan mendapati kami tidak tidur siang. Memang tidur siang ini begitu penting untuk kami, agar sore harinya tidak kecapaian untuk mengikuti TPA.
Kalau di sekolah, saya ikut bermain dengan anak lelaki. Permainan yang beken saat itu adalah ‘bebentengan’, ‘gobaksodor’ dan sepakbola. Sepulang sekolah sudah menjadi rutinitas memainkannya. Kalau berebut tempat dengan kakak kelas, kami cenderung memilih untuk ‘ngadu’. Kalau ternyata yang dimainkan sepakbola, saya selalu dijadikan goalkeeper.
Di keluarga, kalau ada pertandingan-pertandingan mengisi acara keluarga. Saya pun ikut dimainkan. Mencoba posisi apapun, ujung-ujungnya saya merasa nyaman menjadi goalkeeper. Kakak saya melihat kemampuan saya. Kemudian setiap harinya saya fokus dilatih menjadi goalkeeper yang baik. Setiap ada tayangan di TV tentang sepak bola, ia mengevaluasi permainan dan mengajarkannya pada saya.
Di lingkungan rumah saat kami keluar dari komplek BI Surabaya, suasana permainan sepakbola lebih kental lagi. Bahkan hampir setiap malam anak-anak kecil disana menguasai jalanan untuk sepak bola gawang kecil. Gawang yang benar-benar kecil dan penuh kontroversi, karena hanya dibuat dari sandal yang diatur jaraknya satu langkah kaki anak terbesar. Juga banyak time out-nya manakala kendaraan ada yang lewat. Berbahaya memang.
Kegiatan saya di masa kecil ini mungkin sempat membuat Ummi saya was-was. Karena beberapa orang mengingatkannya agar saya jangan dibiasakan bermain bola. Tetapi sungguh Ummi yang sudah mengerti saya dan punya rencana baik untuk saya. Saya dibiarkannya mengembangkan sepak bola untuk olah raga dan berfikir taktis. Karena dia yakin, tidak ada salahnya dan lebih memandangnya sebagai pengembangan fisik dan mental anaknya.
Ketika beranjak SMP, sedikit demi sedikit saya melupakan olah raga itu. Dan Ummi mendidik saya banyak hal tentang menjadi perempuan dewasa. Tidak ada cela, tidak ada sinisme. It’s working for me. Didikan kakak selama SD dan kolaborasi didikan Ummi saat SMP, ternyata membuahkan kepaduan yang membuat saya merasa beruntung pernah mendapatkan keduanya.
Since I know She knows me. I believe She won’t let me be out of way…